Minggu, 31 Agustus 2014

’ILMU PENGETAHUAN’ KIAN TERPINGGIRKAN

’ILMU PENGETAHUAN’ YANG KIAN TERPINGGIRKAN
Aku3
Oleh : Dian Nurdiana
Syekh Muhammad Al-Ghazali (1996:110) yang menyoroti sejarah kemunduran suatu bangsa, menyebutkan bahwa salah satu faktor kemunduran suatu bangsa adalah akibat kurangnya perhatian para pemimpin bangsanya terhadap dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan.

Beliau menyebutkan salah satu contohnya adalah Saif ad-Daulah. Seorang Penguasa Damaskus pada abad pertengahan silam. Dia amat senang dengan ‘penyanyi dan penyair kerajaan’. Bahkan, dia seringkali membayar ratusan ribu dinar (waktu itu) hanya untuk lagu-lagu yang berisi sanjungan dan pujian baginya.
Namun, di sisi lain, ia kurang memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan. Dia hanya memberi beberapa dirham saja kepada Al-Farabi, Al-Kindi dan para ilmuwan lainnya, yang karyanya banyak dijadikan rujukan hampir di berbagai disiplin ilmu sampai saat ini. Para ilmuwan ini harus berjuang menanggung penderitaan dan kekurangan hidup. Kehidupan mereka begitu kontras dan bertolak belakang dengan para penghibur atau ‘entertainer’ kerajaan yang hidup bergelimang kemewahan.
Bagaimana dengan negara kita? Sampai detik ini, negara kita masih terpuruk dalam berbagai sektor. Dan celakanya, kesalahan yang dulu pernah dilakukan oleh Saif Ad-Daulah itu pun kini tengah berlangsung di negeri ini.
Lihat saja. Menjamurnya acara-acara hiburan di televisi saat ini telah membawa masyarakat pada pola hidup ‘hedonistis’ yaitu hanya mencari kesenangan hidup duniawi belaka. Hal ini terlihat dari antusiasme generasi muda yang berebut ingin menjadi ‘selebritis’ yang seluruh hidupnya hanya untuk ‘hiburan’. Bagaimana tidak? Dalam sekali manggung, seorang artis dapat mengantongi ratusan juta sampai milyaran rupiah.
Begitu juga dengan Pemerintahannya. Mereka seringkali lebih memfokuskan perhatiannya pada hal-hal yang bersifat ‘hiburan’. Seorang juara kontes nyanyi, seperti Juara Audisi misalnya, akan disambut dan dielu-elukan serta diarak keliling kota ’bak pahlawan pulang dari medan pertempuran’ oleh Bupati atau Walikota di daerahnya. Berbagai bentuk hadiah dengan jumlah yang sangat fantastis pun mengalir deras dari berbagai pihak. Hidup yang bergelimang kemewahan pun diraih dengan mudah, hanya dengan modal kecantikan dan ’bagusnya suara’ saja. Celakanya, hanya karena mendapat polling sms terbanyak.
Hal ini sangat kontras terlihat ketika seorang siswa berhasil menjadi juara Olympiade bidang ilmu pengetahuan seperti Olympiade MIPA, Fisika dan yang lainnya. Mereka hanya diberi kalungan bunga oleh beberapa orang staf yang mewakili Pemerintah Daerahnya yang menitipkan ‘ucapan selamat’ karena sibuk dan ‘berhalangan hadir’, salah satunya mungkin sedang menghadiri acara audisi tadi.
Jika kebijakan seperti ini terus dibiarkan, maka akan sangat sulit untuk mengharapkan negara ini bisa bangkit dari keterpurukan. Sebab, adik kita, anak kita, tetangga kita dan generasi muda yang lainnya pun, atau pun masyarakat secara otomatis akan memilih menjadi seorang artis atau selebritis daripada menjadi seorang yang pandai dalam bidang ilmu pengetahuan.
Menjadi seorang ilmuwan harus memeras otak, tenaga, keringat, waktu, perhatian, kepintaran, serta keseriusan dan konsentrasi yang sangat melelahkan. Sementara hasilnya hanya ’kalungan bunga’ dan ucapan ’selamat’ serta beberapa lembar sertifikat dan beberapa juta rupiah saja sebagai uang pembinaan.
Di sisi lain, jika berhasil menjadi ’entertainer’, asal bermodalkan wajah yang cantik, suara yang bagus, badan yang seksi, serta penampilan yang menarik. Tanpa harus memeras otak dan keringat, tanpa harus menghabiskan waktu untuk membaca buku dan bereksperimen pun, hasilnya akan sangat jauh berbeda dan sangat fantastis. Ketenaran akan dengan mudah menghampiri. Rupiah jadi melimpah, hidup berubah mewah dan serba ‘wah’. Semua jadi serba mudah. Lalu untuk apa jadi seorang ’kutu buku’?
Apakah hal ini akan kita biarkan terus? Sebab sampai saat ini, kesadaran akan suatu kesalahan langkah dalam kehidupan berbangsa ini belum disadari oleh mereka yang saat ini diberi kekuasaan untuk merubahnya.
Jangankan merubahnya, sadar pun belum ???
Lantas siapa yang bisa diharapkan untuk menyadarkan masyarakat dan mengembalikan perhatian bangsa ini dari sikap ’hedonisme’ yang semakin menggila saat ini?
Dunia pendidikan yang harusnya menjadi lahan strategis untuk membentuk karakter bangsa di masa depan pun kini hanya dijadikan sarana untuk hiburan dan bisnis belaka.
Sinetron-sinetron yang berlatar belakang sekolah, dari SD sampai perguruan tinggi, alur ceritanya hanya berkisar tentang percintaan, persaingan dan pamer harta, kedengkian, penghinaan terhadap profesi guru dan penghinaan terhadap sesama. Bahkan berujung pada upaya menghilangkan nyawa orang lain, hanya untuk mendapatkan harta yang dimilikinya.
Jika alur ceritanya seperti ini, mengapa harus memakai atribut sekolah? Sementara pemainnya sendiri nota bene adalah para artis yang sudah bukan anak sekolahan lagi.
Mengapa hal ini terus dibiarkan? Mengapa para guru, pengawas, bahkan sampai Pak Menteri Pendidikan tak mampu angkat suara? Kemanakah mereka? Adakah aksi keprihatinan untuk pembelokan arah bangsa ini? Mengapa semuanya hanya berdiam diri dan malah justru turut menunggu penayangan sinetron-sinetron ini?
Tidak adakah insan pendidikan yang mampu berbicara dan menghentikan semua ini? Ataukah semuanya tengah ’menangis’ karena sang pemain tercintanya dijaili teman-teman sekelasnya?
Pendidikan harus dikembalikan pada upaya ’penghargaan’ terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri. Bagaimana mungkin bangsa ini bisa maju dan sejajar dengan bangsa lain, jika masyarakatnya tidak mempunyai perhatian terhadap dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Ada kerinduan yang menyeruak, mungkinkah anak-cucu kita nanti, 20 tahun atau 100 tahun, bahkan 200 tahun yang akan datang, mereka akan kembali mencintai ilmu pengetahuan???
Saat ini sangat jarang terlihat lagi, mereka yang memanfaatkan waktu luang dengan membaca buku di sekolah-sekolah, di kampus-kampus, atau sambil duduk di taman-taman atau di kedai-kedai kopi atau bahkan di pinggiran jalan sambil menunggu bis. Mereka yang memanfaatkan waktu di dalam bis kota atau di dalam angkot dengan membaca buku.
Inilah agenda yang harus disadari oleh para guru di tengah pergeseran budaya dan kegersangan pandangan akan ilmu pengetahuan saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar