Minggu, 31 Agustus 2014

Tafakur : APA YANG SALAH DENGAN NEGERI INI?

Tafakur :
APA YANG SALAH DENGAN NEGERI INI???
clip_image002Oleh : Dian Nurdiana
Firman Allah : “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk) nya mengingkari ni`mat-ni`mat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” (Q.S. An-Nahl [16] : 116, Depag RI, 1992:419).

Subhanalloh, gambaran tentang negeri yang Allah SWT sebutkan ini dalam ayat tersebut benar-benar merupakan gambaran kondisi dan situasi bangsa kita selama ini.
Sebuah negeri yang dulunya aman dan tenteram dengan limpahan rezeki dari berbagai penjuru. Daratan dipenuhi dengan tumbuhan yang subur dan melimpah. Lautannya dipenuhi dengan ikan dan sumber daya alam lautnya yang demikian beragam. Bahkan udara dan iklimnya yang hangat benar-benar membuat bangsa lain tergiur untuk turut menikmatinya dengan berbagai macam cara.
Namun, sejak dilanda krisis tahun 1997 silam, tiba-tiba saja bangsa ini memasuki masa yang demikian kelam. Sebuah kondisi yang dipenuhi dengan beragam goncangan dan gangguan yang seringkali sangat sulit untuk diatasi. Krisis moneter dan keuangan yang berimbas pada krisis-krisis lain sebagai imbasnya seperti krisis ekonomi, krisis politik, krisis hukum, budaya, bahkan sampai pada krisis moral dan krisis kepercayaan.
Melambungnya harga-harga bahan pokok masyarakat yang diawali dengan melorotnya harga rupiah terhadap dolar yang sempat mencapai lebih dari lima belas ribu rupiah. Kondisi ini jelas saja berimbas pada naiknya harga barang terutama barang-barang impor. Dan tentu saja sudah dapat diprediksi, karena hampir semua barang-barang yang ada di pasaran kita adalah barang-barang impor.
Kondisi ini membuat masyarakat pemilik negeri yang subur makmur ini meradang, mengerang, dan bahkan menjerit dihimpit beragam kegetiran hidup. Kondisi ini yang digambarkan dalam ayat tersebut : karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan.
Tengok saja. Kemiskinan dan kelaparan seakan telah menjadi biasa dan sudah menjadi ‘pakaian’ keseharian mereka. Bahkan tak jarang, mereka harus meregang nyawa karena terinjak-injak hanya untuk mendapatkan uang sedekah Rp. 20.000,00 dari mereka yang berkantong tebal. Itu pun setelah mereka mengantri seharian, berpanas-panasan dan berdesak-desakan.
Ada apa dengan negeri ini???
Di sisi lain, harga-harga bahan pokok demikian getol berpindah dari satu harga ke harga di atasnya. Bukan lagi naik namun sudah melonjak dan berpindah. Bagaikan penduduk nomaden yang memang tidak bisa dikendalikan dan tidak menetap.
Sebenarnya kenaikan harga ini sudah dapat diprediksi dan diperkirakan, yaitu setiap kali menjelang Hari Raya Idul Fitri. Jadi seharusnya, Pemerintah punya solusi jitu dan efektif untuk mengatasinya sebelum hal tersebut terjadi setiap tahunnya. Atau minimal ada upaya pemerintah untuk mengembalikan harga-harga tersebut kedalam kondisi normal sebelumnya.
Setidaknya hal ini harus jadi agenda pemerintah kita setiap tahunnya. Bukan malah turut ‘memperkeruh’ suasana dengan ikut-ikutan menjadi penyebab naiknya harga yang lebih permanen yaitu dengan menaikan harga BBM Bersubsidi.
Sebab, jika kenaikan harga akibat Hari Raya Idul Fitri, biasanya hanya merupakan kenaikan termporal atau sementara. Tapi kenaikan harga akibat kenaikan harga BBM mah tidak bisa ditawar-tawar untuk turun lagi. Seperti harga roti tawar, tapi tak pernah bisa ditawar. He.
Belum lagi tindakan-tindakan para spekulan yang menguasai pasar dengan mengutak-atik dan menghilangkan beberapa komoditi yang dibutuhkan masyarakat. Mulai dari penimbunan BBM Bersubsidi sampai dengan penimbunan beberapa bahan pokok seperti beras, terigu, minyak sayur, atau bahkan pupuk yang dibutuhkan petani.
Lagi-lagi pemerintah hanya bisa kelimbungan menanggapi ulah para penjahat ekonomi ini kelas teri ini. Lalu apa yang terjadi jika penjahat kelas pausnya bertindak ya? Mungkinkah tragedi krisis moneter 1997 silam akan terulang???
Lalu apa yang salah dengan negeri ini???
Demokrasi yang diugung-ugungkan sebagai sebuah simbol masyarakat modern malah berujung pada konflik horizontal antar komponen bangsa.
Betapa tidak, saat demokrasi hanya diartikan sebagai sebuah pengakuan bahwa semua orang mempunyai hak yang sama, semua orang mempunayi hak untuk mengemukakan pendapat, dengan dalih bahwa suara rakyat adalah suara tuhan.
Tak pelak lagi, yang terjadi selanjutnya adalah konflik horizontal antara sesama komponen bangsa. Sebab semua orang merasa berhak bicara. Semua merasa punya hak untuk didengar.
Dan yang terancam adalah persatuan dan kesatuan. Sampai muncul sebuah slogan konyol : “kita sepakat untuk tidak sepakat” yang kemudian dikemas sebagai sebuah Negara demokrasi.
Kondisi inilah yang kemudian malah memperuncing perbedaan yang ada. Menyimpan dendam berkepanjangan yang akan menjadi api dalam sekam.
Perbedaan memang merupakan ciri dan kebanggaan bangsa. Tapi penegakan tujuan berbangsa dan bernegara harus menjadi prioritas utama dengan mengalahkan dan mengesampingkan idealisme pribadi dan golongan atau partai sekalipun.
Yang terjadi sekarang, demokrasi kemudian memunculkan sikap-sikap rasisme dan dan kesukuan. Semangat inilah yang kemudian memunculkan konflik antar anggota masyarakat. Masyarakat jadi beringas, sensitif, dan bahkan muncul sifat-sifat barbar yang tidak mengenal perikemanusiaan. Seperti inikah makna demokrasi?
Mereka merasa bangga dan senang ketika seluruh nafsunya untuk membunuh sesama manusia terlampiaskan. Tanpa peduli dengan perasaan dan dampak bagi mereka yang terkena akibatnya.
Kekerasan, penganiayaan, kezaliman, sampai pada pembunuhan, menjadi sajian rutin harian yang bisa ‘dinikmati’ dalam setiap tayangan televisi.
Jeritan orang-orang yang ‘teraniaya’ akibat lapak dan dagangannya terkena gusur aparat, dan mereka yang merasa tidak mendapat keadilan di lembaga penegak keadilan manusia berupa pengadilan pun jadi tontonan dan dianggap sebagai suatu kewajaran.
Belum lagi tawuran yang semakin membudaya dan menjalar ke setiap level kehidupan. Mulai dari para pelajar sampai dengan para pejabat yang terhormat. Semuanya sudah menjadikan adu jotos sebagai solusi terakhir untuk menyelesaikan semua permasalahan.
Kelaparan dan ketakutan ini ternyata tidak berhenti sampai disitu.
Bermunculannya wabah penyakit yang sulit disembuhkan, menambah daftar panjang kepahitan hidup yang harus dihadapi.
Kasus-kasus korupsi bermunculan tanpa rasa malu.
Beragam musibah datang silih berganti. Mulai dari Gempa, gelombang Tsunami, gunung meletus, banjir, banjir bandang, kekeringan, kebakaran, angin puting beliung, longsor, serta beragam musibah lain yang semakin memperparah keadaan penduduk negeri yang sedang kesusahan ini.
Nyebutinnya aja sudah capek gini ya, apalagi ngalaminnya…???
Kalau kita terus disibukkan dengan sikap dan pemikiran yang kerdil dan kesukuan tanpa semangat untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Lalu untuk apa kita membuat Negara?
Kalau semua lembaga Negara diobok-obok kesalahannya dan ‘ditelanjangi’ di depan rakyat, dengan dalih memberikan efek jera, lalu kepada siapa lagi masyarakat akan percaya?
Benarkah dengan penayangan kasus korupsi ini memberi efek jera? Tidakkah yang terjadi malah semakin nekad dan semakin tidak terkendali?
Yang terjadi adalah hilangnya rasa percaya, rasa hormat dan rasa bangga terhadap institusinya, bukan pada orang per orangnya. Dan jika rasa ini sudah hilang, Lalu siapa lagi yang harus dipercaya di negeri ini?
Saat Bulan Ramadhan yang penuh berkah menghampiri kita, sebenarnya merupakan kesempatan bagi kita untuk merenungkan kembali setiap langkah yang salah yang berakibat pada hilangnya kesuburan dan kemakmuran bangsa ini.
Seluruh komponen bangsa kembali diajak untuk berzikir dan berfikir sejenak. Apa yang salah dengan diri saya, dengan keluarga saya, dan juga masyarakat bahkan negeri ini?
Dalam ayat itu, Allah SWT menyebutkan bahwa ditimpakannya beragam kesempitan dan penderitaan itu akibat kita kurangnya rasa syukur dalam setiap dada para penduduknya. Inilah yang harus kembali ditumbuhkan dan ditanamkan sejak dini.
Bayangkan jika semua penduduk negeri ini bisa mengembangkan rasa syukur. Sudah dapat dipastikan, kita semua akan merasakan ketenangan, ketenteraman, dan kebahagiaan. Dan hal ini pulalah yang seharusnya menjadi modal dasar untuk pembangunan bangsa ke depan. Kita tidak akan mampu membangun dalam kondisi yang tidak aman, tidak tenteram.
Wallohu’alam bis showab.









































Tidak ada komentar:

Posting Komentar