Jumat, 29 Agustus 2014

PERAN PENGAWAS DALAM PENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN



PERAN PENGAWAS  DALAM PENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN
Oleh
Abdul Hamid.S,Ag M.M.Pd.
Widyaiswara Madya, Pembina IV/a

Abstrak
 Pengetahuan tentang supervisi/ kepengawasan  memberikan bantuan kepada guru dalam merencanakan dan melaksanakan peningkatan professional mereka dengan memanfaatkan sumber yang tersedia. Dasar hukum
tentang kepengawasan ( supervisi ) Permendiknas No 12 Tahun 2007 mengamanatkan bahwa kualifikasi dan kompetensi pengawas sekolah/ madrasah memang mengikat dan terlaksana dengan semestinya. Tujuan supervisi pendidikan ialah memberikan layanan atau bantuan untuk meningkan kualitas mengajar guru di dalam kelas yang pada gilirannya untuk meningkatkan kualitas belajar siswa. Bukan saja memperbaiki kemampuan mengajar tapi juga untuk pengembangan potensi kualitas guru.   Memperbaiki proses pembelajaran harus dilakukan secara terencana dan berkesinambungan. Hal ini peran dari supervisor ( pengawas dan kepala sekolah )  sangat diharapkan karena dia merupakan orang yang  harus memikirkan kemajuan pendidikan di tingkat sekolah/ madrasah.
 Kata kunci    : Peran pengawas, peningkatan mutu pendidikan.
 
A.    Pendahuluan
                  Dalam dunia pendidikan tidak lepas dari tanggung jawab pemerintah, orang tua, serta masyarakat. Karena pendidikan kalau tidak ditangani atau tidak ada yang bertanggung jawab maka dikhawatirkan kedepan pedidikan kita akan semakin tidak jelas. Oleh karena itu perlu perhatian yang sangat serius dari pemerintah , orang tua dan masyarakat. Disisi lain kemajuan sebuah pendidikan ( sekolah/ madrasah ) diperlukan sebuah tata kelola ( manajemen ) yang bagus, karena ketika sebuah lembaga pendidikan dapat dipimpin oleh orang yang memang ahlinya ( kepala sekolah/ madrasah ) maka akan tercipta sebuah pendidikan yang berkualitas. Sekolah/ madrasah yang baik harus dipimpin oleh kepala sekolah/ madrasah pilihan sesuai dengan latar belakang pendidikan yang lebih tinggi, maksudnya strata 1 atau strata 2 kependidikan, bukan sebaliknya. Kalau sebaliknya maka dipastikan pendidikan kita akan semakin tidak jelas, karena dipimpin oleh bukan ahlinya.
         Namun demikian peran supervisor ( pengawas sekolah/ madrasah ) sangat mendukung, karena tanpa adanya pengawas yang ahli ( professional ) maka tidak mungkin juga sebuah sekolah/ madrasah akan berjalan baik dan bermutu. Salah satu mutu pendidikan ( sekolah/madrasah ) sangat ditentukan oleh pengawas yang professional, kepala sekolah/ madrasah yang professional, juga guru yang professional ( berkualitas) hal ini akan tercipta sebuah pendidikan yang bermutu baik.
         Kalau kita analisa bersama kenyataannya dilapangan masih perlu dibenahi dalam hal supervisi pendidikan yang dilakukan oleh para pengawas. Cukup banyak para pengawas kita dalam menjalankan tugasnya belum maksimal memberikan pelayanan dan bimbingan kepada guru disekolah, dikarenakan keahlian dan keterampilan pengawas tersebut masih pas-pasan, hal inilah yang sering dikeluhkan oleh para dewan guru. Idealnya seorang pengawas harus lebih pintar dan mampu dari dalam hal pembinaan, bimbingan, pemberdayaan.  
Namun kenyataannya masih ada pengawas yang belum begitu terampil, meskipun ada juga yang sudah terampil hal ini masih belum memadai.
         Permasalahan yang kita hadapi sekarang adalah kurangnya pembinaan terhadap guru disekolah.  Untuk meningkatkan mutu pendidikan diharapkan adanya rekruetmen para calon pengawas yang memang masih muda kaya pengalaman, serta lemahnya keterampilan pengawas dalam pembimbingan  terhadap guru perlu ditingkatkan melalui pendidikan dan pelatihan, seminar, workshop, simpusiom. Solusi yang perlu kita lakukan adalah pengawas sekolah/ madrasah harus benar- benar orang yang ahli dalam bidang kepengawasan kalau hal demikian adanya maka kita yakini bersama kualitas ( mutu ) pendidikan semakin lebih baik.

B.     Pengertian Supervisi
         Inspeksi berasal dari istilah bahasa Belanda inspectie. Di dalam bahasa Inggeris dikenal inspection. Kedua kata tersebut berarti pengawasan, yang terbatas kepada pengertian mengawasi apakah  ( dalam hal ini guru ) menjalankan apa yang telah diinstruksikan oleh atasannya, dan bukan berusaha membantu guru itu ( Ngalim purwanto, 1990 ). Disisi lain kita melihat model supervisi masa yang lewat memang sifatnya inspeksi, dan seringkali kedatangan mereka kesekolah lebih banyak dirasakan oleh para guru sebagai kedatangan seorang petugas yang ingin mencari kesalahan. Dengan kesan seperti itu, apabila ada seorang inspektur datang, kepala sekolah/ madrasah maupun guru cenderung merasa takut karena merasa akan dicari kesalahnnya. Hal inilah sehingga model inspeksi tidak bisa dipakai lagi untuk keadaan sekarang. Sekarang menerapkan sistem upaya bantuan ditujukan kepada kepala sekolah/ guru dalam upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan dan pengajaran disekolah.
         Dalam perkembangan berikutnya supervisi selanjutnya dikenal istilah penilikan  dan pengawasan mempunyai pengertian suatu kegiatan yang bukan hanya mencari kesalahan objek pengawasan itu semata-mata, tetapi juga mencari hal-hal yang sudah baik, untuk dikembangkan lebih lanjut. Pengawas bertugas melakukan pengawasan, dengan memperhatikan semua komponen sistem sekolah/madrasah dan peristiwa yang terjadi sekolah/ madrasah ( Piet Sehartian ; 1997 ).
         Monitoring seringkali diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan pemantauan. Monitoring berarti kegiatan pengumpulan data tentang suatu kegiatan sebagai bahan untuk melaksanakan penilaian. Dengan kalimat lain, monitoring merupakan kegiatan yang ditujukan untuk mengetahui apa adanya tentang sesuatu kegiatan yang ditujukan untuk mengetahui apa adanya tentang sesuatu kegiatan. Di dalam monitoring seseorang hanya mengumpulkan data tanpa membandingkan data tersebut dengan criteria tertentu.
         Lebih jauh pada konsep lainnya dikatakan bahwa kegiatan penilaian yang juga disebut evaluasi, merupakan suatu proses membandingkan keadaan kuantitatif atau kualitatif suatu objek dengan kriteria tertentu yang sudah ditetapkan sebelumnya. Evaluasi dimaksudkan untuk melihat apakah dengan sumber yang tersedia, sesuatu kegiatan telah mengikuti proses yang ditetapkan serta mencapai hasil yang diinginkan. Penilaian dengan membandingkan antara apa yang dicapai dengan apa yang ditargetkan disebut penilaian tentang keefektifan, sedangkan penilaian dengan membandingkan dengan antara apa yang dicapai dengan berapa banyak sumber yang dikorbankan untuk itu disebut dengan penilaian tentang efeisiensi.
          Apabila pengawasan, monitoring serta penilaian masih dalam tahapan usaha mengetahui status suatu komponen atau kegiatan sistem serta  memahami kekurangan dan atau kekuatannya, maka supervisi mengandung pengertian tindakan. Supervisi dalam arti yang luas yaitu pengertian bantuan dan perbaikan ( Piet Sehartian ; 2008 ).
         Lucio dan McNeil ( 1989 ) mendifinisikan supervisi meliputi   :
a.       Tugas perencanaan, yaitu untuk menetapkan kebijaksanaan dan program.
b.      Tugas administrasi, yaitu pengambilan keputusan serta pengkoordinasian melalui konsultasi dalam upaya memperbaiki kualitas pembelajaran.
c.       Partisipasi secara langsung dalam pengembangan kurikulum.
d.      Melaksanakan demonstrasi mengajar guru- guru .
e.       Serta melaksanakan penelitian.
     Sergiovanni dan Starrat  ( 1980 ) berpendapat bahwa tugas utama supervisi adalah perbaikan situasi pembelajaran disekolah/ madrasah.
          Dari definisi tersebut, kelihatannya ada kesepakatan umum, bahwa kegiatan supervisi pengajaran ditujukan untuk perbaikan pengajaran ( pembelajaran ). Perbaikan itu dilakukan  melalui peningkatan kemampuan profesioanl guru dalam melaksanakan tugasnya. Untuk memudahkan kita dalam memahami supervisi pengajaran, supervisor diupayakan untuk memberikan bantuan kepada guru-guru dalam memperbaiki proses pembelajaran. Proses pembelajaran agar berjalan dengan baik harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. kualitas guru dari segi keilmuan. b. kemampuan dalam melaksanakan metode pembelajaran dengan baik. c. variasi model-model pembelajaran hendaknya dapat menyentuh dan memberdayakan kreativitas siswa baik secara individual maupun secara kelompok. d. penilaian seyogyanya dilakukan secara terus-menerus agar gambaran tingkat keberhasilan siswa semakin jelas. Oleh karena itu bagi seorang guru harus dapat melaksanakan persyaratan yang dimaksud.
          Dalam karangka keseluruhan kegiatan pendidikan di sekolah, supervisi mempunyai kawasan tugas sebagai bagian dari kegiatan sekolah/ madrasah itu secara keseluruhan yang langsung berhubungan dengan pengajaran tetapi tidak langsung berhubungan dengan siswa ( lihat gambar ) :   
Gambar : Kaitan antara Supervisi dengan Kegiatan Pendidikan Sekolah.
                   Melihat gambar tersebut, pengertian supervisi  tidak dapat diartikan secara sempit sebagai proses untuk mengawasi dan usaha memperbaiki pengajaran ( pembelajaran ) yang terbatas di dalam ruangan kelas, tetapi lebih luas dari itu. Proses pengajaran selalu terkait dengan semua kegiatan pendidikan di sekolah/ madrasah. Kegiatan supervisi bertujuan untuk memperbaiki proses dan hasil pembelajaran. Kegiatan  utamanya adalah membantu guru, tetapi dalam konteksnya yang luas menyangkut komponen sekolah yang lain karena guru juga terkait dengan komponen tata usaha, sarana, lingkungan sekolah, dan lain-lain. Kita melihat dilapangan yang terjadi sekarang ini bahwa sasaran supervisi masih belum berjalan secara maksimal, hal ini tentu  masih perlu adanya perbaikan dan pembenahan yang signifikan terhadap manajemen supervisi. 
  
C.    Dasar Hukum dan Kompetensi Pengawas Sekolah/ Madrasah
         Dasar hukum tentang kepengawasan yakni Permendiknas Nomor 12 Tahun 2007 Tanggal 28 Maret 2007 berbunyi sebagai berikut   :
Standar Pengawas Sekolah/ Madrasah  :
1.     Kualifikasi
1.1  Kualifikasi Pengawas Taman Kanak- Kanak/ Raudhatul Athfal ( TK/RA) dan Sekolah Dasar/ Madrasah Ibtidaiyah adalah sebagai berikut   :
a.       Berpendidikan minimum sarjana ( S1) atau diploma empat D-IV kependidikan dari perguruan tinggi terakreditasi;
b.      Pengalaman kerja guru TK/RA minimal 4 tahun untuk menjadi pengawas;
c.       Memiliki pangkat minimum piñata, golongan ruang III/c;
d.      Berusia setinggi-tingginya 50 tahun, sejak diangkat sebagai pengawas satuan pendidikan;
e.       Memenuhi kompetensi pengawas melalui uji kompetensi ( seleksi pengawas).
1.2  Kaulifikasi Pengawas Sekolah Menengah Pertama/ Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs ), Sekolah Menengah Atas/ Madrasah Aliyah (SMA/MA) dans Sekolah Menengah Kejuruan/ Madrasah Aliyah Kejuruan ( SMK/MAK) adalah sebagai berikut   :
a.       Memiliki pendidikan minimum magister ( S2) kependidikan dengan berbasis sarjana S1 dalam rumpun mata pelajaran yang relevan pada perguruan tinggi terakreditasi;
b.      Guru SMP/ MTs bersertifikat pendidik sebagai guru SMP/MTs dengan pengalaman kerja minimum delapan tahun dalam rumpun mata pelajaran yang relavan di SMP/MTs atau kepala sekolah SMP/MTs dengan pengalaman kerja minimum  4 tahun, untuk menjadi pengawas SMP/ MTs sesuai dengan rumpun mata pelajarannya;
c.       Guru SMA/ MA bersertifikat pendidik sebagai guru SMA/MA dengan pengalaman kerja minimum delapan tahun dalam rumpun mata pelajaran yang relavan di SMA/MA atau kepala sekolah SMA/MA dengan pengalaman kerja minimum  4 tahun, untuk menjadi pengawas SMA/ MA sesuai dengan rumpun mata pelajarannya;
d.      Memiliki pangkat minimum piñata, golongan ruang III/c;
e.       Berusia setinggi-tingginya 50 tahun, sejak diangkat sebagai pengawas satuan pendidikan; 
f.       Memenuhi kompetensi sebagai pengawas satuan pendidikan yang dapat diperoleh melalui uji kompetensi ( seleksi pengawas );
g.      Lulus seleksi pengawas satuan pendidikan.
  
    D.Kompetensi
Kompetensi Pengawas TK/ RA dan SD/MI/ SMP/MTs/SMA/ MA/SMK/MAK     :
a.          Kompetensi Kepribadian maksudnya : Memiliki tanggung jawab sebagai pengawas satuan pendidikan, kreatif dalam bekerja dan memecahkan masalah baik yang berkaitan dengan kehidupan pribadinya maupun tugas-tugas jabatannya serta menumbuhkan motivasi kerja pada dirinya dan pada stakeholders pendidikan.
b.         Kompetensi Supervisi Manajerial maksudnya : menguasai metode, teknik dan prinsip evaluasi, dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan disekolah/ madrasah. Membina kepala sekolah/madrasah dalam pengelolaan administrasi satuan pendidikan, serta memantau pelaksanaan standar nasional pendidikan.
c.         Kompetensi Supervisi Akademik maksudnya : Memahami konsep, prinsip, teori, dasar karakteristik dan kecenderungan perkembangan tiap bidang pengembangan mata pelajaran. Membimbing guru dalam penyusunan silabus dan RPP sesuai dengan prinsip KTSP, serta membimbing guru untuk memanfaatkan teknologi dan komunikasi serta informasi bidang pengembangan mata pelajaran tersebut.
d.        Kompetensi Evaluasi Pendidikan maksudnya  : Menyusun kriteria dan indikator keberhasilan pendidikan dan pembelajaran/ bimbingan sekolah/ madrasah. Menilai kinerja kepala sekolah/ madrasah dan guru serta staf sekolah/ madrasah. Memantau pelaksanaan pembelajaran/ bimbingan dan hasil belajar siswa serta menganalisis untuk perbaikan mutu pembelajaran.
e.         Kompetensi Penelitian Pengembangan maksudnya : Menguasai berbagai pendekatan, jenis dan metode penelitian dalam pendidikan. Menyusun proposal penelitian pendidikan baik kualitatif dan kuantitatif, serta menyusun pedoman/ panduan atau buku/ modul yang diperlukan untuk melaksanakan tugas pengawasan di sekolah/ madrasah.
f.          Kompetensi Sosial maksudnya  : Bekerjasama berbagai pihak dalam rangka meningkatkan kualitas diri untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab. Aktif dalam kegiatan asosiasi pengawas satuan pendidikan.

E.              Tujuan dan Prinsip Supervisi Pendidikan
         Tujuan supervisi pendidikan ialah memberikan layanan atau bantuan untuk meningkan kualitas mengajar guru di dalam kelas yang pada gilirannya untuk meningkatkan kualitas belajar siswa. Bukan saja memperbaiki kemampuan mengajar tapi juga untuk pengembangan potensi kualitas guru. Pendapat ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Olive bahwa sasaran ( domain ) supervisi pendidikan ialah :
1). Mengembangkan kurikulum yang sedang dilaksanakan disekolah/ madrasah.
2). Meningkatkan proses belajar mengajar disekolah/ madrasah.
3). Mengembangkan seluruh staf di sekolah/ madrasah.
Permasalahan yang sering muncul kepermukaan bahwa bagaimana melaksanakan supervisi di lingkungan pendidikan baik di sekolah ataupun di madrasah yang terpenting adalah agar pola pikir yang bersifat otokrat dan korektif menjadi sikap yang konstruktif dan kreatif. Suatu sikap yang menciptakan situasi dan relasi dimana guru-guru merasa aman dan merasa diterima sebagai subjek yang dapat berkembang sendiri. Untuk itu supervisi harus dilaksanakan berdasarkan data, fakta yang objektif. Bila demikian, maka prinsip supervisi dilaksanakan adalah  :
a.       Prinsip Ilmiah maksudnya : Kegiatan supervisi dilaksanakan berdasarkan data objektif yang diperoleh dalam kenyataan pelaksanaan proses pembelajaran. Setiap kegiatan supervisi dilaksanakan secara sistematis, terencana, dan kontinu. 
b.      Prinsip Demokratis maksudnya  : Layanan/bantuan yang diberikan kepada guru berdasarkan hubungan kemanusiaan yang akrab dan kehangatan sehingga guru-guru merasa aman dalam mengembangkan tugasnya.
c.       Prinsip Kerjasama maksudnya   : Mengembangkan usaha bersama atau menurut istilah supervisi sharing of idea, sharing of experience, memberi support/ mendorong, menstimulasi guru, sehingga mereka merasa tumbuh bersama.
d.      Prinsip Konstruksi dan Kreatif maksudnya  : Setiap guru akan termotivasi dalam mengembangkan potensi kreativitas kalau supervisi mampu menciptakan suasana kerja yang menyenangkan, bukan melalui cara-cara menakutkan ( Piet Sehartian, 2008).
Berdasarkan pengalaman dan analisa penulis ketika masih menjabat sebagai kepala madrasah juga mengikuti seminar dan lokakarya tentang pendidikan dan pengawasan diantaranya sebagai berikut  :
1.      Memang sudah saatnya pengawas harus meningkatkan kompetensi baik perkenaan dengan pembimbingan terhadap guru berupa; bimbingan silabus dan RPP serta sistem analisis butir soal, dan  mampu dalam hal manajemen sekolah dan IT.
2.      Banyak juga keluhan dari para guru di semua jenjang pendidikan yang mengatakan bahwa masih banyak pengawas sekolah/ madrasah kita yang perlu ditingkatkan  profesionalnya  untuk melakukan pembimbingan dan pengembangan kepada kepala sekolah/ madrasah, guru juga tenaga kependidikan lainnya.
3.      Apapun alasannya pengawas harus lebih pandai dari yang di bimbingnya, hal ini akan dapat berpengaruh pada peningkatan mutu pendidikan dan dapat menjaga imej yang baik dimata guru-guru dan kepala sekolah/ madrasah.
Dengan demikian, selama individu pengawas tersebut selalu termotivasi, belajar, mengkaji, diklat, seminar, lokakarya, workshop dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang sesuai dengan kompetensinya, maka akan terciptanya sebuah pendidikan yang berkualitas serta kewibawaan yang semestinya harus kita perkuat dan pertahankan.
  
E.                       Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum
               Pengalaman menunjukkan bahwa, pembaruan kurikulum sejak tahun 1975, kurikulum 1984 yang disebut kurikulum yang disempurnakan dan kurikulum 1994 dan suplemen tahun 1999  yang dikeluarkan Depdikbud di Jakarta lengkap dengan pedoman/ petunjuk pelaksanaan. Walaupun demikian perlu sekali ada orang yang bertugas untuk membina dan menterjemahkan itu kepada guru- guru. Yang dijelaskan adalah latar belakang yang diterapkannya kurikulum itu. Konsep dasar dari kurikulum yang akan diterapkan. Contoh ; waktu diterapkan kurikulum 1975 guru dilatih dan didorong untuk membuat satuan pelajaran. Tetapi  mereka tidak mengerti bahwa kurikulum 1975 itu menerapkan pendekatan sistem yang waktu itu PPSI ( prosedur pendekatan sistem instruksional ). Jadi guru-guru itu tidak dilatih untuk berpikir bersistem ( system thinking)
merupakan pendekatan system ( system approach)  dan menerapkan analisis system ( system analysis ) . Guru hanya diharuskan menerapkan satuan pelajaran tanpa mengerti mengapa mereka mengajar dengan menerapkan pendekatan sistem ( Sanusi, 2007 ).
               Kita melihat lagi pada kurikulum 2006 KTSP yang mulai bernuansa pemberdayaan semua lini yakni kurikulum KTSP menghendaki adanya sinergitas pihak manajemen sekolah ( kepala sekolah/ madrasah ), guru, tata usaha, laboran, pustakawan, siswa itu sendiri artinya hadirnya KTSP membawa perubahan pemberdayaan yang sangat signifikan yang dalam hal ini para pihak sekolah/ madrasah merasa dihargai ide-ide cerdasnya serta KTSP ini dinyatakan kurikulum standar minimal artinya kita pihak sekolah dan guru dipersilahkan mengembangkan kurikulum tersebut sesuai dengan kondisi riil dilapangan. Analisa dan pengamatan penulis kehadiran KTSP nampaknya sudah menjawab tantangan yang mana dulu guru mengajarkan ilmu kepada murid selalu menurut apa yang tertera dalam kurikulum, tetapi sekarang dengan adanya KTSP guru boleh menganalisa materi pembelajaran untuk disesuaikan dengan peserta didik juga dengan khas daerah yang bersangkutan, selama tidak menyimpang dari roh tujuan pembelajaran dimaksud.
               Dalam KTSP guru merasa diberdayakan untuk membuat silabus, RPP, soal-soal ulangan, matrik penilaian, bobot dan skor penilaian bahkan guru sekarang guru sudah banyak dan mampu menguasai IT ( komputer/ laptop ). Dengan demikian kita harus optimis menatap pendidikan kedepan agar kita tidak henti-hentinya berinovasi dan berkreasi dalam bidang pendidikan dan kepengawasan. Pengawas yang baik selalu menyiapkan dirinya untuk selalu meningkatkan kompetensinya terlebih-lebih bagaimana kurikulum sekarang selalu dikembangkan sesuai dengan keadaan siswa. Guru dan pengawas professional harus memiliki kemampuan untuk merancang berbagai model pembelajaran. Dalam pengertian ini atas dasar bimbingan para pengawas sekolah diharapkan oleh guru mampu merancang tujuan umum dan tujuan khusus pembelajaran, tapi guru juga harus mampu merumuskan berbagai pengalaman belajar dan berbagai kegiatan belajar dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran.

F. Peningkatan Proses Pembelajaran
            Menurut Budimansyah, 47 : 2003 memperbaiki proses pembelajaran harus dilakukan secara terencana dan berkesinambungan. Hal ini peran dari supervisor ( pengawas dan kepala sekolah )  sangat diharapkan karena dia merupakan orang yang  harus memikirkan kemajuan pendidikan di tingkat sekolah/ madrasah.
            Kegiatan belajar siswa yang dilaksanakan  di bawah bimbingan guru. Guru bertugas merumuskan tujuan- tujuan yang hendak dicapai padfa saat pembelajaran. Untuk mencapai tujuan itu guru merencangkan sejumlah pengalaman belajar. Yang dimaksud pengalaman belajar adalah segala yang diperoleh siswa sebagai hasil dari belajar ( learning experience ). Belajar ditandai mengalami perubahan tingkah laku, karena memperoleh pengalaman baru ( Peit Sehartian, 2008 ).
             Melalui perolehan pengalaman pembelajaran peserta didik memperoleh pengertian, sikap penghargaan, kebiasaan, kecakapan, dan lainnya. Agar peserta didik memperoleh sejumlah pengalaman belajar, maka mereka harus melakukan sejumlah kegiatan pembelajaran. Mari kita cermati bersama beberapa kegiatan belajar menurut Paul B. Diedrich  yakni :
a.       Kegiatan mengamati  ( visual activities ) maksudnya adalah kegiatan yang dilakukan dengan menggunakan indera penglihatan ( membaca, melihat).
b.      Kegiatan mendengarkan ( listening activities ) maksudnya kegiatan mendengarkan.
c.       Kegiatan menggambarkan ( drawing activities ) maksudnya adalah melakukan kegiatan menggambar atau melukis membuat grafik.
d.      Kegiatan melalui gerak/ motor ( motor activities ) maksudnya kegiatan yang menggunakan gerak tubuh, misalnya role playing, dramatisasi, dan simulasi.
e.       Kegiatan mental ( mental activities ) maksudnya kegiatan yang banyak menggunakan pikiran/ mental seperti menanggapi, menganalisis, memecahkan masalah, mengambil keputusan.
f.       Kegiatan emosional yaitu kegiatan yang menggunakan perasaan seperti merasakan indahnya pemandangan , gembira, tenang, menghayati sesuatu.
           Dengan berbagai  kegiatan siswa akan memperoleh sejumlah pengalaman belajar ( learning experience ). Belajar bukan saja menguasai sejumlah materi pengetahuan, tapi memperoleh sejumlah pengalaman belajar. Bagaimana cara menciptakan suasana belajar mengajar yang menyenangkan adalah salah satu usaha perbaikan proses belajar mengajar. Selain itu juga perlu dikembangkan kemampuan dan menilai hasil belajar dan proses belajar. Setiap guru yang selesai mengajar bertanya pada dirinya apakah bahan yang disajikan dapat dikuasai oleh subjek didik. Supervisor dapat mendorong guru- guru untuk mengembangkan berbagai model rancangan pembelajaran.
            
G.      Usaha Pembinaan dan Pengembangan Sumber Daya Guru                   
              Usaha untuk memberi kemampuan) (Oxfort English Dictionary). Makna tersebut mensyiratkan bahwa konsep pening­katan kualitas pendidikan belum mengoptimalkan pada pemberdayaan kinerja guru, yang memiliki peran dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Pem­ber­dayaan tenaga pendidik merupakan perwujudan capacity building yang bernuansa pada pemberdayaan sumber daya manusia tenaga pendidik melalui pengembangan berbagai kemampuan (kinerja) dan tanggungjawab serta suasana sinergis antara pemerintah dalam pengembangan berbagai kemampuan (kinerja) dan tanggungjawab serta suasana sinergis antara pemerintah (government) dengan guru. Upaya optimalisasi kinerja guru yang ber­kelanjutan merupakan faktor yang penting dibanding faktor lainnya dalam peningkatan kualitas pendidikan. Hal ini telah disadari dan dilakukan oleh peme­rintah  melalui penugasan studi lanjut, berbagai training dan penataran pada guru. Studi lanjut diperuntukkan bagi guru-guru Sekolah Dasar yang belum me­miliki kualifikasi  SDM yang menguasai iptek cenderung memanfaatkan teknologinya untuk menguasai SDA . Dinamika perkembangan masyarakat melaju sangat pesat seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga menuntut semua pihak untuk beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi di dalam  masyarakat. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah memunculkan paradigma baru dalam mencapai keberhasilan, yaitu dengan persaingan. Tantangan persaingan yang semakin tajam pada era globalisasi menuntut agar   guru sebenarnya telah di­lakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia, melalui berbagai bentuk ke­bijakan. Ditetapkannya Undang Undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen merupakan dasar kebijakan untuk memperkuat eksistensi tenaga kependidikan sebagai tenaga profesional, seperti profesi-profesi yang lainnya. Kualitas profesi tenaga guru selalu diupayakan, baik melalui ketentuan kualifikasi pendidikannya maupun kegiatan in-service training, dengan berbagai bentuknya yang dilakukan .

                      Menurut Sutaryat, 67: 2005  mengatakan bahwa masalah-masalah umum yang yang dihadapi dalam tugas mengajar dan mendidik mencakup   :
1.      Membantu guru dalam menterjemahkan kurikulum kedalam makna sebuah pendidikan.
2.      Membantu guru-guru dalam meningkatkan program belajar mengajar yakni membantu merancang bangun program pembelajaran, membantu dalam pelaksanaan proses belajar mengajar, serta membantu dalam menilai proses dan hasil belajar mengajar.
3.      Membantu guru dalam menghadapi kesulitan dalam mengajarkan tiap mata pelajaran.
4.      Membantu guru dalam memecahkan masalah- masalah pribadi ( personal problem ).
Oleh karena itu betapa pentingnya supervisi yang diberikan kepada guru-guru dalam tugas mengajar dan mendidik sampai saat ini masih bersifat umum ( general supervision). Yang dibicarakan menyangkut masalah kegiatan belajar mengajar yang bersifat umum. Usaha meningkatkan kemampuan guru dalam proses belajar mengajar, perlu pemahaman ulang. Mengajar tidak sekadar mengkomunikasikan pengetahuan agar diketahui subjek didik, tetapi mengajar harus diartikan menolong si pelajar agar mampu memahami konsep- konsep dan dapat menerapkan konsep yang dipahami. Selain itu mengajar harus dipersiapkan dengan baik. Guru perlu menyediakan waktu untuk mengadakan persiapan yang matang termasuk persiapan batin. Guru-guru dimotivasi agar selalu berusaha untuk merancangkan apa yang akan disajikan. Mempersiapkan diri agar tampil dalam mengajar dan menilai dengan tepat serta bertanggung jawab atas tugas mengajarnya. Bantuan yang diberikan dalam hal sebagai berikut   :
a.       Merancangkan program belajar mengajar.
b.      Melaksanakan proses belajar mengajar.
c.       Menilai proses belajar mengajar.
d.      Mengembangkan manajemen kelas .
  Menurut buku Supervision for to days school, oleh Peter F.Oliva ( 1984 : 84-87 ) mengemukakan beberapa model rancangan belajar mengajar antara lain  :

                    Model ini sangat sederhana ;
a.       Perencanaan. Isinya mengenai segala apa yang akan diajarkan.
b.      Menetapkan bagaimana cara menyajikan pelajaran.
c.       Menyusun evaluasi hasil belajar.

Sebenarnya kalau kita melihat dilapangan tentang bagaimana guru sekarang dalam hal indikator kinerja serta pembinaan nilai-nilai peningkatan kualitas siswa  antara lain   :
a.       Masih ada guru dalam melaksanakan tugas tidak sepenuhnya, dikarenakan dengan beberapa alasan; sibuk, urusan rumah tangga, arisan dan lain-lain.
b.      Dengan terbitnya Undang- undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 yang sangat menjanjikan dan memiliki kekuatan hukum yang kuat bahwa guru dan dosen sudah memiliki nilai tambah yang luar biasa maksudnya guru dan dosen dalam melaksanakan tugasnya diatur oleh Undang- undang dan mereka berhak mendapatkan sertifikat pendidik, dengan melalui potofolio dan juga lulus pendidikan dan latihan (PLPG).
c.       Cukup banyak para guru yang belum diberikan kesempatan untuk mengikuti Pendidikan dan Pelatihan dilingkungan tempat mereka bekerja. Kemudian masih ada diantara mereka belum termotivasi untuk peran serta dalam kegiatan workshop, KKG,MGMP, seminar. Hal ini dikarenakan berbagai macam alasan dan sebagainya.
   Oleh karena itu mari kita bersama- sama untuk memberikan motivasi kepada guru-guru kita kedepan agar selalu memperkaya diri dengan keilmuan serta mampu meningkatkan kinerjanya dengan baik demi terlaksanya SDM yang berkualitas sehingga akan melahirkan siswa/ siswi yang berkualitas juga.

H.    Manajemen Mutu  Pendidikan
Menurut Ahmad Sanusi, 39 :  2003, manajemen mutu pendidikan bagian yang sangat integral dalam dunia pendidikan Indonesia saat ini setidaknya menghadapi empat tantangan besar yang kompleks. Pertama, tantangan untuk meningkatkan nilai tambah (added value), yaitu bagaimana meningkatkan nilai tambah dalam rangka meningkatkan produktivitas serta pertumbuhan dan pemerataan ekonomi sebagai upaya untuk memelihara dan meningkatkan pembangunan yang berkelanjutan. Kedua, tantangan untuk melakukan pengkajian secara komprehensif dan mendalam terhadap terjadinya transformasi (perubahan) struktur masyarakat, dari masyarakat yang agraris ke masyarakat industri yang menguasai teknologi dan informasi, yang implikasinya pada tuntutan dan pengembangan Sumder Daya Manusia (SDM). Ketiga, tantangan dalam persaingan global yang semakin ketat, yaitu bagaimana meningkatkan daya saing bangsa dalam meningkatkan karya-karya yang bermutu dan mampu bersaing sebagai hasil penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS). Keempat, munculnya kolonialisme baru di bidang IPTEK dan ekonomi menggantikan kolonialisme politik.

           Sutaryat 2005,   dewasa ini berbagai upaya peningkatan mutu pendidikan terus dilakukan oleh banyak pihak. Upaya-upaya itu dilandasi suatu kesadaran betapa pentingnya peranan pendidikan dalam pengembangan sumber daya manusia dan pengembangan watak bangsa (Nation Character Building) demi kemajuan masyarakat dan bangsa, karena memang harkat dan martabat suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas pendidikannya. Dalam konteks bangsa Indonesia, peningkatan mutu pendidikan merupakan sasaran pembangunan di bidang pendidikan nasional dan merupakan bagian integral dari upaya peningkatan kualitas manusia Indonesia secara menyeluruh ( Subagyo , 2008 ). Dari berbagai studi dan pengamatan hasil analisis menunjukkan bahwa paling tidak ada tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata. Pertama, kebijakan penyelenggaraan pendidikan nasional yang berorientasi pada keluaran pendidikan (output) terlalu memusatkan pada masukan (input) dan kurang memperhatikan pada proses pendidikan. Kedua, penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara sentralistis. Hal ini menyebabkan tingginya ketergantungan pada keputusan birokrasi, dan sering kali kebijakan pusat terlalu umum dan kurang sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah setempat. Disamping itu, segala sesuatu yang terlalu diatur menyebabkan penyelenggaraan sekolah kehilangan kemandirian, inisiatif, dan kreativitas. Hal tersebut menyebabkan usaha dan daya untuk mengembangkan atau meningkatkan mutu layanan serta keluaran pendidikan menjadi kurang termotivasi. Ketiga, peran serta masyarakat, terutama orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini hanya terbatas pada dukungan dana. Padahal, peran serta mereka sangat penting di dalam proses-proses pendidikan, misalnya dalam pengambilan keputusan, pemantauan, evaluasi, dan akuntabilitas. Ketiga faktor tersebut yang menyebabkan timbulnya Manajemen .
             Merujuk pada Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, penyelenggaraan pendidikan merupakan salah satu urusan wajib yang menjadi wewenang pemerintah kabupaten/kota. Di sisi lain, Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan
Dua landasan normatif tersebut sebenarnya sudah cukup menjadi rambu-rambu bagi pelaksanaan desentralisasi pendidikan. Akan tetapi, perlu juga adanya standarisasi dan pengendalian mutu secara nasional sebagai upaya membentuk kesatuan “referensi” dalam mencapai pendidikan yang berkualitas. Standar pendidikan ini telah diperkuat dengan adanya PP No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
               Pemberian otonomi pendidikan yang luas kepada lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia merupakan wujud kepedulian pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul dalam masyarakat, di samping sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan secara umum sebagai sarana peningkatan efisiensi pemerataan pendidikan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas. Secara esensial, landasan filosofis otonomi daerah adalah pemberdayaan dan kemandirian daerah menuju kematangan dan kualitas masyarakat yan dicita-citakan.
Pemberian otonomi ini menuntut pendekatan manajemen yang lebih kondusif di sekolah agar dapat mengakomodasi seluruh keinginan sekaligus memberdayakan berbagai komponen masyarakat secara efektif guna mendukung kemajuan dan sistem yang ada di sekolah. Dalam kerangka inilah MBS tampil sebagai alternatif paradigma baru manajemen pendidikan yang ditawarkan. MBS merupakan suatu konsep yang menawarkan otonomi kepada sekolah untuk menentukan kebijakan sekolah dalam rangka meningkatkan mutu, efisiensi, dan pemerataan pendidikan agar dapat mengakomodasi keinginan masyarakat setempat serta menjalin kerja sama yang erat antara sekolah, masyarakat, dan pemerintah.
Kehadiran konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dalam wacana pengelolaan pendidikan di Indonesia tidak lepas dari konteks gerakan “restrukturisasi dan reformasi” sistem pendidikan nasional melalui desentralisasi dan pemberian otonomi yang lebih besar kepada satuan pendidikan atau sekolah, seperti self managing school atau school based management, self governing school, local management of schools, school based budgeting, atau guaranty maintained schools. Konsep-konsep tersebut menjelaskan bahwa sekolah ditargetkan untuk melakukan proses pengambilan keputusan (school based decision making) yang berarah pada sistem pengelolaan, kepemimpinan serta “peningkatan mutu” (administrating for excellen) dan effective schools.
              Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada intinya adalah memberikan kewenangan terhadap sekolah untuk melakukan pengelolaan dan perbaikan kualitas secara terus menerus. Dapat juga dikatakan bahwa manajemen berbasis sekolah pada hakikatnya adalah penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan (stakeholder) yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Secara bahasa, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) berasal dari tiga kata, yaitu manajemen, berbasis dan sekolah. Manajemen adalah proses menggunakan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran. Berbasis memiliki kata dasar basis yang berarti dasar atau asas. Sedangkan sekolah berarti lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat untuk menerima dan memberikan pelajaran. Berdasarkan makna leksikal tersebut, maka Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dapat diartikan sebagai penggunaan sumber daya yang berasaskan pada sekolah itu sendiri dalam proses pengajaran atau pembelajaran.
Priscilla Wohlsetter dan Albert Mohrman menjelaskan bahwa pada hakikatnya,           Manajemen Berbasis Sekolah berpijak pada Self Determination Theory. Teori ini menyatakan bahwa apabila seseorang atau sekelompok orang memiliki kepuasan untuk mengambil keputusan sendiri, maka orang atau kelompok tersebut akan memiliki tanggung jawab yang besar untuk melaksanakan apa yang telah diputuskan. Berangkat dari teori ini, banyak definisi mengenai Manajemen Berbasis Sekolah yang dikemukakan para pakar. Eman Suparman, seperti dikutip oleh Mulyono, mendefinisikan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagai penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau mencapai tujuan mutu sekolah dalam pendidikan nasional. Sementara itu, Slamet (http://www.manajemen-berbasis-sekolah.html) mengartikan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagai pengoordinasian dan penyerasian sumber daya yang dilakukan secara otomatis (mandiri) oleh sekolah melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan sekolah dalam kerangka pendidikan nasional, dengan melibatkan kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan (partisipatif). Hal ini berarti sekolah harus bersikap terbuka dan inklusif terhadap sumber daya di luar lingkungan sekolah yang mempunyai kepentingan selaras dengan tujuan pendidikan nasional.
Priscilla Wohlsetter dan Albert Mohrman menjelaskan secara luas bahwa Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah pendekatan politis untuk mendesain ulang organisasi sekolah dengan memberikan kewenangan dan kekuasaan kepada partisipasi sekolah pada tingkat lokal guna memajukan sekolahnya. Partisipasi lokal yang dimaksudkan adalah partisipasi kepala sekolah, guru, siswa, dan masyarakat sekitar. Sedangkan dalam buku manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) diartikan sebagai suatu model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, pegawai sekolah, orang tua siswa, dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional. Dengan kemandiriannya, sekolah lebih berdaya dalam mengembangkan program-program yang tentu saja lebih sesuai dengan kebutuhan dan potensi.
            Ahmad Barizi juga mensinyalir bahwa Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan bentuk alternatif sekolah dalam melakukan program “desentralisasi” di bidang pendidikan yang ditandai dengan otonomi yang luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang tinggi tanpa mengabaikan kebijakan pendidikan nasional. Bahkan, Susan Albers Mohrman menyatakan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah salah satu bentuk restrukturisasi sekolah dengan mengubah sistem sekolah dalam melakukan kegiatannya. Tujuannya adalah untuk meningkatkan prestasi akademis sekolah dengan mengubah desain struktur organisasinya.
Sementara itu, Nanang Fatah memberikan pengertian bahwa MBS merupakan pendekatan politik yang bertujuan untuk mendesain ulang pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan kepada kepala sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa, komite sekolah, orang tua siswa, dan masyarakat. Manajemen Berbasis Sekolah mengubah sistem pengambilan keputusan dengan memindahkan otoritas dalam pengambilan keputusan dan manajemen ke setiap yang berkepentingan di tingkat lokal, Local Stakeholder. Sedangkan Bappenas dan Bank Dunia, seperti yang dikutip oleh B. Suryosubroto, memberikan pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagai pemberdayaan sekolah dengan memberikan otonomi yang lebih besar, disamping menunjukkan sikap tanggap pemerintah terhadap tuntutan masyarakat juga dapat ditunjukkan sebagai sarana peningkatan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Ini artinya otonomi diberikan agar sekolah dapat leluasa mengelola dan mengembangkan potensi serta sumber daya yang ada di dalam sekolah dengan mengalokasikannya sesuai prioritas kebutuhan serta tanggap terhadap kebutuhan masyarakat setempat. Sedangkan partisipasi masyarakat dituntut agar lebih memahami pendidikan, membantu, serta mengontrol pengelolaan pendidikan dengan asas keterbukaan
Sesuai dengan deskripsi detail tersebut di atas, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan pemberian otonomi penuh kepada sekolah untuk secara aktif-kreatif serta mandiri dalam mengembangkan dan melakukan inovasi dalam berbagai program untuk meningkatkan mutu pendidikan sesuai dengan kebutuhan sekolah sendiri yang tidak lepas dari kerangka tujuan pendidikan nasional dengan melibatkan yang berkepentingan (stakeholder), serta sekolah harus pula mempertanggungjawab kepada masyarakat (yang berkepentingan). Artinya, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada hakikatnya adalah penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan (stakeholder) yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Dengan demikian, MBS merupakan sebuah strategi untuk memajukan pendidikan dengan mentransfer keputusan penting memberikan otoritas dari negara dan pemerintah daerah .              Gagasan tentang Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ini, belakangan menjadi perhatian para pengelolaan pendidikan, mulai tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, sampai dengan tingkat sekolah. Sebagaimana dimaklumi, gagasan ini semakin mengemuka setelah dikeluarkannya kebijakan desentralisasi pengelolaan pendidikan seperti disyaratkan oleh UU Nomor 32 Tahun 2004. Produk hukum tersebut mengisyaratkan terjadinya pergeseran kewenangan dalam pengelolaan pendidikan dan melahirkan wacana akuntabilitas pendidikan. Gagasan MBS perlu dipahami dengan baik oleh seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholder) dalam penyelenggaraan pendidikan, khususnya sekolah. Karena, implementasi MBS tidak sekadar membawa perubahan dalam kewenangan akademis sekolah dan tatanan pengelolaan sekolah, akan tetapi membawa perubahan pula dalam pola kebijakan dan orientasi partisipasi orang tua dan masyarakat dalam pengelolaan sekolah.

I.       Simpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diungkapkan pada halaman diatas dapat disimpulkan bahwa peran pengawas besar sekali dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan dan dilaksanakan secara bertahap dan terencana serta didukung oleh tenaga pengawas sekolah/ madrasah yang professional dengan baik. bertanggung jawab atas keberhasilan sebuah pendidikan dan pengajaran disekolah/ madrasah.  Unsur manajemen sekolah harus berperan secara maksimal yakni peran kepala sekolah/ madrasah, guru, serta tenaga kependidikan lainnya. Kenapa demikian karena jika unsur manajemen sekolah/ madrasah tidak berdaya bahkan tidak bergerak maju dengan semestinya sehingga sulit sekolah/ madrasah untuk maju kedepan.
Mari kita harus optimis bahwa dengan pengawas yang professional serta ditunjang dengan  manajemen sekolah/ madrasah yang baik  maka akan muncul kepermukaan mutu pendidikan ( sekolah/ madrasah ) yang kita harapkan bersama. 
                                                                  Daftar Pustaka
Abdul Hamid. 2008.----- ( Makalah  ) . Peningkatan Kompetensi Guru . Balai Diklat Keagamaan
                    Banjarmasin. 
Budimansyah.Dasim. 2003. Pengembangan Model Pembelajaran. Penerbit Genesindo Bandung. 
Depdikbud RI. 1998. Kurikulum Sekolah 1999 Suplemen dan Pedoman Administrasi dan
                      Supervisi. Jakarta : Balai Pustaka. 
Djamarah, Syaiful. 2002. Peningkatan Profesional Guru. Penerbit PT. Rineka Cipta. Jakarta. 
Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2007 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Depdiknas
                Kementerian Pendidikan Nasional. Jakarta. 
--------------Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor `12 Tahun 2007 Tanggal
                       28 Maret 2007 
Makalah-----2004. Pembinaan Guru Profesional . Seminar pendidikan di Universitas
                      Lambung Mangkurat ( FKIP ) Banjarmasin 
Soetjipto, Kosasi Raflis. 1994. Profesi Keguruan. Penerbit PT. Rineka Cipta. Jakarta.       
-----------Jurnal Edukasi Pendidikan Agama dan Keagamaan. 2006. Balitbang Kementerian Agama
                       Jakarta.
 Undang- Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005. Kementerian Pendidikan Nasional,
              Tahun 2007. 
Sahertian.Piet. 2008. Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan  Manusia. Penerbit Rineka Cipta.
                               Jakarta.
 Herabuddin. 2009. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Penerbit CV. Pustaka Setia Bandung. 
Sutaryat. 2005. Peningkatan Mutu Sekolah dan Supervisi Pendidikan. Penerbit Genesindo Bandung. 
Sanusi.Ahmad. 2003. Pendidikan Alternatif. Makalah S2 PPS Universitas Islam Nusantara Bandung
               (UNINUS )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar